MD Pictures, rumah produksi yang sempat meraih sukses besar ketika merilis Ayat-Ayat Cinta
(2008), yang kemudian memulai tren perilisan film-film drama bernuansa
reliji di industri film Indonesia, sepertinya sangat berhasrat untuk
mengadaptasi novel karya Buya Hamka, Di Bawah Lindungan Ka’bah,
menjadi sebuah tayangan film layar lebar.
Mereka bahkan rela
menghabiskan waktu selama dua tahun untuk menyelesaikan proses produksi
dan dana sebesar Rp25 miliar untuk menampilkan tata produksi terbaik
untuk mendukung pembuatan versi film dari salah satu karya paling
populer di dunia sastra Indonesia tersebut. Hasilnya, Di Bawah Lindungan Ka’bah
menjadi sebuah film bertemakan kasih tak sampai dengan tampilan
komersial yang sangat akut… seperti yang telah diduga banyak orang
ketika nama Hanny R Saputra dilibatkan sebagai sutradara bagi film ini.
Di Bawah Lindungan Ka’bah
memulai kisahnya dengan memperkenalkan Hamid (Herjunot Ali), seorang
pemuda tampan, cerdas, saleh, berbudi pekerti tinggi namun terlahir
dengan keadaan ekonomi yang berada di bawah garis kemiskinan. Untungnya,
kehidupan Hamid dan ibunya (Jenny Rachman) selama ini cukup terbantu
dengan keberadaan Haji Jafar (Didi Petet), seorang pria dermawan yang
saleh serta cukup terpandang di sebuah kampung di provinsi Sumatera
Barat yang masyarakatnya memegang teguh adat istiadat dan taat dalam
menjalankan ajaran dan aturan agama. Haji Jafar bahkan membiayai
pendidikan Hamid di sebuah sekolah agama bergengsi hingga Hamid akhirnya
mampu menyelesaikan pendidikannya.
Dilema mulai mewarnai kehidupan Hamid
ketika ia jatuh cinta dengan Zainab (Laudya Chyntia Bella), puteri
jelita semata mayang dari Haji Jafar. Perbedaan status sosial yang
begitu jauh antara keduanya membuat hubungan antara Hamid dan Zainab
sepertinya tidak mungkin bersatu, walaupun keduanya sama-sama menyukai
satu sama lain. Tidak hanya berhenti disitu, berbagai cobaan mulai
mendera hubungan keduanya: mulai dari Hamid yang diusir dari kampungnya
setelah dituduh telah ‘menyentuh’ Zainab secara tidak sopan hingga
perjodohan Zainab dengan seorang pemuda anak saudagar kaya yang semakin
memojokkan posisi Hamid. Hamid yang terusir dari kampung akhirnya
meneruskan perjalanannya demi mewujudkan impiannya agar dapat menunaikan
ibadah haji di Mekkah. Di saat yang sama, Zainab tetap menunggu
kembalinya Hamid agar mereka dapat kembali menjalin hubungan kasih suci
mereka yang telah terputus.
Diadaptasi oleh Titien Wattimena (Minggu Pagi di Victoria Park, 2010) dan Armantono (Love Story), kisah cerita Di Bawah Lindungan Ka’bah
memang memiliki cukup banyak perbedaan yang berarti jika dibandingkan
antara jalinan kisah yang tertulis di novelnya. Kisah mengenai
pengusiran karakter Hamid dari kampungnya serta karakterisasi antagonis
dari karakter pria yang dijodohkan dengan Zainab merupakan bentuk
penyesuaian konflik yang dilakukan Titien dan Armantono untuk
menerjemahkan jalan cerita yang berlangsung di masa klasik menjadi
sebuah jalan cerita dengan sentuhan yang lebih modern. Dialog-dialog
yang terjalin antara setiap karakter juga dibentuk dengan dialog modern
daripada menggunakan dialog berbentuk metafora maupun pantun seperti
yang digunakan di versi novel – walaupun Titien dan Armantono beberapa
kali tetap menyelipkan dialog-dialog bernada klasik tersebut pada
beberapa bagian cerita.
Walau berusaha untuk menerjemahkan jalan
cerita menjadi modern, Hanny R Saputra tetap mempertahankan latar
belakang waktu cerita berada pada kisaran daerah Sumatera Barat di tahun
1920-an. Disinilah dana produksi sebesar Rp25 miliar – mari tidak
berdebat dengan pernyataan yang telah dikeluarkan pihak produser tentang
jumlah total biaya produksi yang telah dikeluarkan untuk film ini –
tersebut banyak digunakan. Tim produksi Di Bawah Lindungan Ka’bah
memunculkan banyak properti yang akan memunculkan nuansa klasik daerah
Sumatera Barat tersebut, mulai dari tata perkampungan Minang, pasar
tradisional, tata kostum yang digunakan oleh setiap orang, bangunan
surau dan sebuah kincir air – yang kemungkinan merupakan kincir air yang
sama yang muncul pada film Hanny R Saputra sebelumnya, Love Story
– hingga perekaan ulang suasana Mekkah lengkap dengan tiruan bangunan
Ka’bah-nya. Cukup mampu bekerja dengan baik dalam membangkitkan suasana
klasik tersebut, walaupun… dapat dipastikan bahwa tim produksi Di Bawah Lindungan Ka’bah masih menyimpan cukup banyak dana sisa produksi dari total bujet sebesar Rp25 miliar yang disediakan. Just saying.
Beberapa detil dalam penceritaan Di Bawah Lindungan Ka’bah
– seperti penggunaan aksen Minang yang tidak konsisten di sepanjang
film, dapat ditemukan walaupun tidak akan cukup mengganggu jika penonton
tidak begitu menyadari hal tersebut. Namun, proses penceritaan film ini
terasa lemah sekali di bagian pertengahan film, ketika karakter Hamid
dikisahkan telah keluar dari kampung dan terus menerus digambarkan
mengalami penderitaan yang mendalam akibat terpisah dari Zainab. Hanny
gagal memberikan poin yang menarik dalam menampilkan sisi kepedihan
karakter Hamid dan Zainab selama mereka terpisah. Ditampilkan dengan
alur yang terlalu mendayu-dayu – sangat khas seorang Hanny R Saputra,
tentunya – bagian ini menjadi begitu menjemukan untuk diikuti. Pun
begitu, Hanny cukup berhasil dalam mengemas momen-momen drama tearjerker – sekali lagi, khas Hanny R Saputra, tentu saja – yang seringkali menjadi highlight tersendiri bagi Di Bawah Lindungan Ka’bah.
Herjunot Ali dan Laudya Chyntia Bella cukup mampu menghidupkan karakter mereka dengan baik di sepanjang film. Walaupun begitu, chemistry
yang tercipta antara keduanya adalah sangat minim untuk dapat dirasakan
penonton. Minimnya percikan daya tarik dari karakter Hamid dan Zainab
sebagai pasangan kekasih cukup memberikan pengaruh pada kegagalan jalan
cerita Di Bawah Lindungan Ka’bah dalam menjalin hubungan
emosional yang mendalam pada penontonnya. Jajaran pemeran mendukung
tampil tidak mengecewakan, dengan Jenny Rachman kembali hadir di
industri film nasional dan tetap mampu memberikan permainan akting
terbaiknya serta Tarra Budiman yang berperan sebagai sahabat Hamid yang
sering muncul dan menyita perhatian.
Seperti film-film nasional lainnya yang memanfaatkan nuansa latar belakang daerah Indonesia sebagai bagian dari ceritanya, Di Bawah Lindungan Ka’bah juga memberikan penampilan sinematografi yang cukup memikat. Di bawah arahan Ipung Rachmat Syaiful, tampilan gambar Di Bawah Lindungan Ka’bah
tampil mempesona dalam menangkap nuansa alami daerah Sumatera Barat.
Tya Subiakto Satrio sendiri juga mengisi deretan tata musik di film ini.
Cukup berhasil dalam memberikan kedalaman emosional cerita pada
beberapa bagian, namun lebih sering terdengar megah dalam mendayu-dayu
pada banyak bagian film.
Dengan menerapkan beberapa baris kisah baru yang diterapkan pada kisah legendaris Di Bawah Lindungan Ka’bah, film yang diharapkan akan mampu mengikuti kesuksesan Ayat-Ayat Cinta ini harus diakui akan banyak mengecewakan para penggemar novelnya. Versi film Di Bawah Lindungan Ka’bah
sangat terasa begitu modern dalam penceritaannya terlepas dari usaha
Hanny R Saputra untuk mempertahankan nuansa tahun 1920-an di sepanjang
penceritaan film ini. Hasilnya, Di Bawah Lindungan Ka’bah lebih
terkesan sebagai bagian dari deretan filmografi film-film romansa
cengeng Hanny R Saputra daripada sebagai sebuah film yang mengadaptasi
sebuah karya sastra bernuansa Islami legendaris. Departemen akting dan
tata produksi tampil cukup dinamis, terlepas dari beberapa kekurangan
yang muncul, namun karakterisasi yang lemah serta jalan cerita yang
cenderung lamban dan bertele-tele membuat Di Bawah Lindungan Ka’bah gagal untuk tampil istimewa seperti yang diharapkan.
Out Of Topic Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon